Selasa, 15 Desember 2009

2010, Peluang Protap Terbuka Kembali


Depdagri

2010, Peluang Protap Terbuka Kembali

Program pemerintah lewat Departemen Dalam Negeri, untuk mengevaluasi dan membuat grand design sebagai batasan komposisi yang tepat untuk pemekaran Daerah. Sempat menimbulkan pertanyaan, apakah protap kembali ke proses awal atau tidak?

Awalnya Arta News bertemu dengan Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Sodjuangon Situmorang, ketika ia akan bergegas meninggalkan kantornya beberapa waktu silam. Dalam pertemuan singkat itu, Sodjuangon menjelaskan bahwa pemerintah cq Depdagri tengah mengevaluasi perkembangan dan hasil dari beberapa daerah otonomi baru sebagai bahan rekomendasi kepada DPR RI nantinya. Rencananya, evaluasi ini akan diselesaikan pada bulan Maret 2010.

Ia juga menambahkan, sebagai batasan komposisi yang ideal untuk banyaknya Provinsi, Kotamadya dan kabupaten di Indonesia. Depdagri juga tengah menyusun grand design yang menjadi patokan pemekaran daerah dan harus diselesaikan pada bulan Juni 2009. Ketika disoal mengenai protap, Sodjuangon menjawab, “Kita lihat dulu hasil evaluasi nanti.”

Penasaran dengan jawaban itu, Arta News pun menemui Kepala Pusat Penerangan Depdagri (Kapuspen), Saut Situmorang. Menurutnya, protap itu masih dalam agenda pemekaran daerah dan lebih maju dari RUU Inisiatif DPR RI yang mengajukan 20 daerah untuk otonomi baru.

“Kalau itukan (maksudnya-PROTAP) masih dalam agenda. Beberapa daerah pembentukan di luar UU usul inisiatif yang baru ini. Persyaratannya (Protap) sudah lebih maju. Jadi itu masih dalam agenda yang di pending. Misalnya Protap, Kota Berastagi. Hanya sekarang kepada mereka diminta untuk memperlengkapi persyaratannya,”katanya tersenyum menjawab pertanyaan Arta News.

Artinya, peluang protap terbuka kembali di tahun 2010. Bahkan lebih maju dari permohonan pembentukan daerah otonom baru usulan inisiatif DPR RI. Jika dilihat sejarah protap, maka tinggal persetujuan DPRD yang belum dipenuhi dari syarat yang telah ada.

Seputar Grand Design dan evaluasi, dijelaskan Saut, pembentukan atau pemekaran daerah otonomi semenjak digelontorkan banyak mengubah pemetaan wilayah Indonesia. Dalam sepuluh tahun saja jumlah keseluruhan pemerintahan daerah di Indonesia sudah mencapai 524 dari 319. Artinya, antara tahun 1999 sampai 2009 ada penambahan 205 pemerintahan daerah otonom. Sementara baru-baru ini sudah ada RUU Usul Inisiatif DPR-RI pembentukan daerah otonomi baru. Belum lagi yang masih di-pending karena hajatan nasional Pemilu 2009 dan Pilpres secara langsung.

“Pada waktu bersamaan kita berpikir, sampai seberapa banyak provinsi, kabupaten, dan kota akan dibentuk di masa mendatang. Apalagi kita lihat kecenderungan, apakah pembentukan daerah otonomi itu merupakan suatu tujuan. Saya kira gak,”ujar Saut.

Selanjutnya Saut menambahkan bahwa dari pelbagai rapat kerja, lokakarya, seminar yang diadakan. Pernah dikemukakan, bahwa perlunya kita memiliki suatu grand design terkait masalah seberapa banyaknya jumlah provinsi, kabupaten dan kota yang ideal ke depan dalam tenggat 15 sampai 20 tahun.

“Tentunya untuk memperoleh gambaran yang ideal jumlah provinsi, kabupaten, dan kota dalam suatu grand design perlu dilakukan atas dasar kajian-kajian terhadap beberapa aspek yang menyeluruh seperti aspek kewilayahan, sosial budaya, demografi dan sebagainya,”paparnya.

Saut juga mengatakan, dalam nota APBN awal tahun 2009, Presiden menyampaikan rencana pemberhentian sementara (moratorium). Namun menyikapi RUU Usul Inisiatif DPR-RI terhadap 20 pembentukan pemekaran daerah otonomi bulan September 2009 lalu, Presiden tetap konsisten. Dalam surat balasannya, presiden mengatakan akan selesaikan tahapan (proses pembentukan yang sedang berlangsung) dulu, serta menyelesaikan evaluasi terhadap daerah otonom baru yang sudah dimekarkan

Akan tetapi, Saut mengingatkan, kembali bahwa satu daerah otonom dibentuk tentu memiliki suatu tujuan yaitu meningkatkan pelayan publik guna mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat disamping itu untukmeningkatkan demokrasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. “Jadi kalau kita melihat, pertama, pembentuk daerah otonomi ke depan ada dua tujuan utama yakni percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik, kedua meningkatkan demokrasi penyelenggaraan pemerintahan daerah,” katanya.

Ada 10 asfek yang telah ditentukan sebagai bahan evaluasi pemerintahan daerah otonomi baru. Kesepuluhnya yaitu pertama, mengenai pembentukan perangkat daerahnya (sekretariat daerah atau dinas-dinas utama dsb). Kedua, pengisian personil (pegawai). Ketiga, pengisian keanggotaan DPRD. Keempat ; penyelengaraan urusan wajib dan urusan pilihan sebagai suatu daerah otonom. Kelima, pembiayaannya (biasanya daerah induk maupun provinsinya biasanya sepakat untuk memberi bantuan hibah selama 3 tahun berturut juga pembiayaan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif)). Keenam, pengalihan asset peralatan dan dokumen. Ketujuh, penetapan dan pelaksanaan batas wilayah harus jelas (patok wilayah). Kedelapan, penyediaan sarana dan prasarana pemerintahaan.Kesembilan, penyusunan atau penyediaan rencana umum tata ruang wilyah. Terakhir, mengenai pemindahan ibukota bagi daerah otonomi daerah.

Dari kesepuluh asfek yang dievaluasi itu, kemudian akan disimpulkan dan dijadikan rekomendasi terhadap daerah tersebut. Namun kendati demikian, jelas Saut, bukan serta merta pemerintah membatalkan daerah otonomi daerah baru jika hasil dari evaluasi itu tidak baik. Tetapi pemerintah terlebih dahulu memberikan pembinaan terhadap daerah otonomi daerah baru itu.

Karena dasar ketentuan evaluasi itu adalah pasal 6 ayat 1, 2 dan 3 UU 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah junto PP no 6 tahun 2008 tentang pedoman evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Dalam pasal 6 itu berbunyi, daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah. Ayat 2, bahwa penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ayat 3 bahwa; pedoman penyelenggaraan sebagaimana pada dimaksud pada ayat 2 diatur pada peraturan pemerintah.

“Didalam peraturan Pemerintah no 6 tahun 2008 ini ada tiga bentuk evaluasi yakni pertama, evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah; Kedua, evaluasi kemampuan penyelengaraan otonomi daerah; dan ketiga, evaluasi daerah otonomi baru. Jadi ada tiga evaluasi yang dikenal dalam PP no 6 tahun 2008 untuk menindaklanjut Pasal 6 ayat 3 UU No 32 Tahun 2004,”terang Saut kepada Artanews.

Saut menggarisbawahi bahwa kegiatan evaluasi penyelenggaraan daerah umumnya “lebih” terkait upaya pembinaan dan pengawasan. Makanya dalam hal ini pemerintahan daerah yang lama juga termasuk bagaian yang turut dievaluasi juga. Pada tahap kedua bahwa evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah diutamakan pada daerah-daerah yang relatif lama. “Jika setelah dilakukan pembinaan terus menerus kalau ternyata kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut menjadi kartu mati, bisa jadi memunculkan rekomendasi masih bisa dibantu atau digabungkan,”terangnya.

Karena sebagai catatan, tujuan dari pemekaran daerah otonomi baru adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Sehingga, bila setelah dilakukan pembinaan berkali-kali tidak menunjukkan hasil tersebut, maka sudah barang tentu status pemekaran itu dapat dibatalkan.

“Evaluasi itu, sekaligus untuk mencari tahu, hal-hal apa yang perlu disempurnakan dalam pembentukan daerah otonomi ke depan berdasarkan pengalaman kita dalam membentuk daerah otonomi sebanyak 205,” katanya.

Problem daya pikul (grand design)

Laporan grand design daerah yang berdimensi jangka panjang dan bersifat komprehensif sebagai dasar untuk menata ulang keberadaan daerah otonomi ini disampaikan ke Komisi II selambat-lambatnya Juni 2010.

Untuk itu, jelas Saut, dalam pra penyusunan grand design akan diadakan beberapa lokakarya atau seminar dibeberapa tempat. Untuk Wilayah Tengah di Jakarta, Wilayah Timur di Makasar, Wilayah Barat di Pekan Baru. Yang melibatkan, anggota DPR-RI khusus Komisi II, akademisi dalam bidang-bidangnya yang fokus pengkajian misalnya aspek budaya, social, praktisi praktisi, kepala daerah dan lainnya. Dengan kata lain bukan hanya Depdagri yang mengkaji Grand Design tersebut, tetapi juga pihak terkait dari beberapa komponen masyarakat.

Kapuspen juga menjelaskan, hasil kesepakatan mengenai grand design itu bisa saja, salah satu kemungkinan dalam bentuk undang-undang atau alternatif lainnya itu dimasukkan sebagai bagian undang undang.

Sekarang ini, tengah dikaji UU 32 tahun 2004 untuk disempurnakan. Hal itu dilakukan sekaligus untuk, pembentukan tiga undang-undang yang berasal dari materi UU tersebut. Ketiga UU itu, pertama, tentang pemerintahan daerah; Kedua, tentang pilkada dan wakil; dan ketiga, tentang desa.

“Tetapi yang paling pokok saya kira nantinya setelah grand design penataan daerah ke depan selesai oleh pemerintah, diperlukan pembahasan untuk mencapai kesepakatan atas grand design dulu. Inikan akan menjadi kunci pemekaraan berikut,”terangnya.

Masalahnya apakah kontekstual dari grand design tersebut akan menyebabkan pembatasan pemekaran daerah. Atau menutup peluang pemebntukan daerah baru.

Dengan tegas Saut mengatakan persoalan pembentukan daerah otonomi baru bukan masalah peluang. Sebagai ilustrasi ia mengajak semua kalangan lebih memahami esensi grand design yakni daya pikul

“Seperti kita sendiri misalnya. Berapa sich batas kemampuan kita (manusia) untuk memikul. Masak kita paksakan lebih dari pada itu (kemampuan sesorang). Itulah ilustrasi yang sederhana. Hanya saja ini kan lebih kompleks karena ditinjau dari berbagai aspek,” ilustrasinya.

Ia juga menjelaskan bahwa seandainya jumlah provinsi dalam grand design tertera sebanyak 10 provinsi, bukan berarti sejumlah 10 provinsi dikerjakan. Soalnya wacana yang sedang berkembang sekarang bahwa pembentukan daerah otonom harus melalui masa transisi dulu. Antoni/jef

Tidak ada komentar:

Posting Komentar