PROGRAM WISATA 2010 – 2011
MASYARAKAT HARUS MERASAKAN MANFAATNYA
(Benny Panjaitan, Hakim Tobing, Eddy Silitonga)
MASYARAKAT HARUS MERASAKAN MANFAATNYA
(Benny Panjaitan, Hakim Tobing, Eddy Silitonga)
Ada keterkaitan yang bersifat kohesi (tarik-menarik.red) antara Pekerja Seni, Budaya dan Pariwisata. Sehingga Benny Panjaitan, Edy Silitonga dan Hakim Tobing selaku pekerja seni pun merasa peduli terhadap pengembangan pariwisata dan budaya di tahun 2010 - 2011 ini. Mereka khawatir nasib program itu, tidak dirasakan hasilnya oleh masyarakat. Karena sejauh ini, telah banyak program kurang memperhatikan azas out come (manfaat) nya, alias berhenti di out put (yang penting terjadi) belaka, sementara rakyat tetap saja jadi korban.
Sebenarnya potensi pariwisata Indonesia jauh lebih banyak dan baik, jika dibandingkan dengan Negara Malaysia. Tentunya ini harus perhatian khusus, mengapa Malaysia di bidang pariwisata jauh lebih maju saat ini. Perbandingan pemasukan di bidang pariwisata Malaysia ternyata sudah jauh lebih ke depan. Bahkan, tidak jarang orang Indonesia menjadikan Malaysia sebagai tempat sasaran mereka berlibur dan menjadi turis di negeri jiran itu.
Kecemasan ini diutarakan oleh Personil Panbers, Benny Panjaitan ditemui Arta News di Blok M Square baru-baru ini di Jakarta. Terutama bila ia ingat potensi alami wisata Indonesia sudah jauh lebih baik dibanding Malaysia.
Benny mengaku sangat bangga dengan Indonesia. Bahkan kecintaannya akan alam Indonesia pernah dituangkannya ke dalam sebuah lagu country Indonesia, yang berjudul “Indonesia My Lovely Country”.
Lagu itu menurutnya, inspirasi kepada dunia bahwa negeri Indonesia layak untuk dikunjungi. Terutama jika dipandang dari kekayaan alami pariwisata Indonesia. Dimana terdapat Danau Toba, Tondano, Pantai Panjang, Bunaken, dan lainnya termasuk Bali.
Namun sayangnya, kata Benny, pariwisata belum dianggap sebagai pemasukan utama Indonesia, beda dengan tambang emas, batubara dan lainnya. Tentunya dengan alasannya, demi sebuah asfek pariwisata yang baik diperlukan kesabaran dan waktu yang panjang, beda halnya dengan hanya mengelola hasil bumi Indonesia.
“Nah, kalau hanya Bali yang diandalkan untuk ekploitasi wisata di Indonesia, mana sanggup melawan daerah-daerah wisata yang secara giat dan intensif dihidupkan oleh Negara-negara tetangga Indonesia,” jelasnya.
Benny sebagai pekerja seni mengakui disini persoalan promosi dan pembangunan wisata lokall sangat membutuhkan keseriusan pemerintah. Tidak semata hanya untuk daerah Bali. Akan tetapi harus juga diperhatikan daerah wisata lainnya yang ada di Indonesia.
Sosialisasi ke mancanegara dapat dilakukan lewat media elektronik, cetak dan lagu. Lainnya, persoalan pelayanan dan keamanan juga perlu ditingkatkan. Sehingga daerah-daerah berpotensi wisata tidak mubazir (sia-sia. Red) , tetapi dapat memberi penghidupan bagi masyarakat setempat dan Indonesia umumnya.
“Misalnya Danau Toba apa yang kurang? Namun jika keramahan dan pelayanan penduduk di sekitarnya tidak bersifat well come (terbuka). Maka ini dapat berimbas pada ketidaknyamanan wisatawan mancanegara (wisman) agar mau datang kembali ke daerah itu,” jelasnya.
Selain itu, jelas Benny, pembangunan pendidikan juga harus melihat dari potensi wilayah. Karena menurutnya, sangatlah cocok bila di daerah Danau Toba dibuat sekolah pariwisata. Dengan demikian kemudian hasil didik dari sekolah ini dapat memberikan konstribusi yang baik untuk perkembangan pariwisata di sekitar Danau terbesar di dunia itu. “Nanti setelah lulus dari sana tenaganya bisa siap pakai,” katanya
Namun dari sisi bisnis, bagaimana pun suatu pemandangan wisata dikemas untuk dijual, tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya terhadap seni tari dan seni musiknya. “Memandang enak, makan enak, keamanan enak, hotelnya enak ditambah musik dan tariannya enak dinikmati, maka wisata itu jadi baik,” ulasnya.
Benny juga melihat ada pergeseran perhatian wisata belakangan ini. Ketika wisata permainan menjadi fokus utama target pariwisata. Padahal, permainan sebenarnya tidak dapat dijadikan hal utama dalam peningkatan wisata. Tetapi, keindahan, kenyamanan dan keamanan-lah yang semestinya dijadikan fokus utama.
Benny juga mengutarakan keprihatinannya terhadap dunia budaya belakangan ini, karena di era masa mudanya dulu, tarian, lagu dan unsur-unsur hasil cipta kebudayaan masih mudah ditemui. Berbeda dibanding apa yang terjadi belakangan ini. Justru budaya kolaborasi kurang menjaga budaya orisinil dan di mana harus ditampilkan. Pola “hantam kromo” (asal jadi. red) pun mewarnai pertunjukan seni budaya. “Misalnya saja, dulu masih terdengar musik tradisional dimana mana, sekarang ini berubah tiba tiba. Lagu dangdut di hajar di danau toba, mati lah kita,” jelas Benny.
Namun ia menyadari, pemerintah hanya memfasilitasi dan tidak dapat disalahkan. Pemerintah daerah dan lingkungan mesti bekerja keras, setidaknya pembangunan SDM dan infrastruktur harus dikedepankan demi mendapatkan daerah wisata layak jual.
“Seumpama Danau Toba, berkali-kali saya kesana. Ya…ampun, pemandangan luar biasa. Nah kenapa? orang tidak mau ke sana. Bahkan orang Medan sendiri juga tidak datang,” katanya “Satu contoh bikin di Danau Toba kampung seniman entah mereka menjual suaranya, atau apapun lah. Karena sekarang hal itu tidak ada. Yang dijual kereta dayung aja, itu di Jakarta juga banyak,” ungkapnya.
Hakim Tobing
Sementara itu, Hakim Tobing menyatakan tentang pencanangan program pariwisata selama ini, masih belum memperlihatkan harapan yang baik untuk memberikan penghidupan bagi pekerja seni dan rakyat pada umumnya.
“Kalau kita bicara pariwisata itu semata keuntungan pemerintah. Belum menjanjikan memberi keuntungan bagi masyarakat. Jadi kalau saya lihat pariwisata tahun 2009 ini bagus, oleh karena melampaui target jumlah. Cuma 2010 - 2011 itu, bila bisa dijanjikan oleh pemerintah terhadap kehidupan masyarakat di daerah masing-masing,” jelas Hakim Tobing saat ditemui Arta News di kediamannya baru-baru ini.
Jadi pertumbuhan pariwisata menurut Hakim tidak hanya mengunci diri pada masyarakat pelaku wisata saja. Karena bukan hanya orang hotel dan travel yang bicara pariwisata. “Itu terlalu sempit sekali,” tukasnya.
Menurutnya, perlu juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, dunia pendidikan bahkan sampai tingkat sekolah dasar agar tercipta swakarya dan swadaya masyarakat serta penyadaran terhadap masyarakat. Artinya, diperlukan pemberdayaan masyarakat sadar pariwisata untuk mendukung pariwisata yang unggul.
“Tapi kita belum ketinggalan, hanya saja sebenarnya sudah harus ada beberapa daerah yang semestinya sudah lebih maju. Sayangnya, ada daerah yang lebih maju seperti Danau Toba justru belakangan kurang diminati,” jelas Hakim.
Semisal pandangannya tentang Pesta Danau Toba yang dinilainya begitu-begitu saja alias tidak ada peningkatan sejak pesta tersebut pertama kali digelar. Tetapi disini menurutnya, akses perhubungan udara yang benar-benar bisa transit para turism untuk langsung ke Danau Toba, misalnya di Siborong-borong. Tujuannya agar para wisatawan dapat merasakan perjalanan darat menuju Danau Toba.
Selain itu, di Prapat yang kurang menjanjikan rasa aman, karena sering terjadi kecelakaan. Untuk itu menurut Hakim, sepantasnya pemda setempat memberikan pengamanan khusus secara terpadu dan positif sebagai bentuk pelayanan pariwisata untuk wisatawan itu. Misalnya dengan membuat penghalang untuk menjaga kecelakaan yang langsung jatuh ke jurang di sekitar lokasi sepanjang jalan akses ke Danau Toba.
“Jadi, infratruktur perlu dibangun secara terpadu demi upaya perbaikan wisata di Danau Toba bukan sekedar pelaksanaan pesta belaka. Ini harus kita gugah bersama,” tukasnya.
Dari sisi SDM, Hakim melihat perlunya program pemberdayaan bagi masyarakat untuk membangun kampung halamannya sendiri. Dalam rangka perbaikan jalan saja misalnya, masyarakat yang diuntungkan atas perbaikan dan pembangunan jalan itu sudah semestinya dilibatkan agar turut memiliki pembangunan itu.
“Jadi harus ada tekad seorang kepala daerah sebelum dia jadi gubernur, bupati dan walikota ada program untuk meningkatkan pariwisata Sumut. Akses ke sana harus aman datang ke sana. Bila itu tidak diperbaiki, percayalah! Tidak ada orang yang mau datang kesana,” ujarnya.
Hakim juga berpendapat bahwa kesiapan SDM sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pariwisata. Untuk itu Depnakertrans atau setingkat dinas sepantasnya melakukan program pemberdayaan atau pelatihan dari sisi wisata. Dicontohkannya, Departemen meminta kepada sekolah-sekolah pariwisata untuk dapat berperan secara aktif pula, kaitannya dengan promosi wisata.
Kesimpulan Hakim terhadap kemajuan pariwisata dari masa lalu dan kini, masih sebatas meneruskan program yang sudah ada sebelumnya. Artinya belum ada sesuatu yang inovatif dan kreatif demi perkembangan dunia pariwisata itu alias kurang memuaskan.
“Jika ada data peningkatan pariwisata di Departemen Pariwisata dari wisman yang datang ke Indonesia, saya rasa itu bukan ukurannya. Karena tidak terjamin apakah meraka yang dating berharap untuk dating lagi, atau mereka datang dan pulang dengan perasaan kesal,” jelas Hakim Tobing.
Soal pelestarian Budaya, Hakim memandang, rasa fanatik terhadap budaya jauh lebih tinggi generasinya dulu dibanding generasi sekarang ini. Menurutnya, duta-duta budaya saat ini juga kurang mendalami dan menghayati persoalan budaya itu sendiri. Sehingga regenerasinya masih jauh dari harapannya.
Diakhir wawancara, Hakim juga mengutarakan harapannya, bahwa budaya merupakan harga diri bangsa. Untuk itu, Pemerintah maupun pemda harus mendukung dunia budaya sebagai basis pembangunan negara. Kearifan lokal semestinya digali dan dimanfaatkan demi pembangunan yang mem - “bumi”. Tidak asal contoh dan jiplak. Atau sekedar buat program demi keuntungan pelaku pembangunan bukan apa manfaatnya bagai sasaran pembangunan (rakyat). Selain itu, pemda yang tidak mampu merangkul perantau asal wilayahnya, dapat dikatakan kepemimpinannya akan gagal. “Jadi kepala daerah harus bisa merangkul, tapi kalau dia hanya memikirkan bagaimana menghabiskan APBD saja, ya... tidak akan bisa berjalan,” imbuhnya.
Edy Silitonga:
Sebagai artis yang besar di lingkungan Jawa, Melayu dan Menado, dan menghabiskan masa kecilnya di Siantar dan Rantau Praparat, Eddy Silitonga melihat proyeksi pelestarian budaya terhadap generasi muda di tahun 2010 akan jauh merosot dibandingkan tahun sebelumnya. Terutama, jika dibiarkan terus-menerus industri televisi mempertontonkan tayangan yang tidak mengarahkan masyarakat untuk mencintai budayanya sendiri. Misalnya sinetron-sinetron yang marak di televisi bukan mempertontonkan kehidupan real dari budaya Indonesia. Karena dengan kemasan film, lebih mudah diserap oleh masyarakat. Sebaiknya, tema-tema sinetron harus dapat mempertontonkan kisah dan persoalan budaya, sehingga kemudian menggairahkan generasi muda untuk lebih mencintai budayanya.
“Generasi sekarang sudah mulai tidak mengenal budayanya sendiri. Sementara, kita berkoar-koar (bicara) kemana mana soal budaya. Terutama tivi-tivi sekarang, ada tidak yang mempertontonkan budaya seluruh Indonesia. Sekarang televisi hanya mempertontonan acara acara yang sifatnya hiburan semata dan tidak menonjolkan budaya,” jelas Eddy.
Nah, kalau kemudian hari Indonesia sebagai bangsa berbudaya, generasinya tidak lagi mengenal budayanya. Apa namanya disebut bangsa ini? Karena negara yang tidak mengenal budayanya adalah bangsa yang tidak punya harga diri. “Apalagi bicara menyejahterakan pekerja seni,” ungkapnya.
Eddy juga mengaku miris memperhatikan penghargaan masyarakat terhadap pekerja seni budaya. Semisal penari adat yang hanya mendapatkan upah Rp50 hingga 200 ribu ketika mereka pentas. Sementara ada pentas dangdut yang mengekploitasi goyangan pantat dan digoyangkan ke penonton bisa dibayar hingga Rp50 juta. Hal ini menurut Eddy merupakan ketimpangan yang sangat mengkhawatirkan nasib pekerja seni budaya.
“Saya menangis,.Lihat paruning-uningan di pesta adat Batak, gondang itu dibayar untuk hadir dari jam 10 hingga 8 malam ditambah penyanyi, trio, penari dimintai harga Rp5 juta, dibilang mahal,” jelas Eddy.
Pelantu lagu “Mama” ini juga mempertanyakan apakah pariwista 2010 sudah siap untuk diekpos dan apakah sudah dilakukan pembenahan di semua lini pariwisata. Karena selain itu manusia Indonesia juga semestinya sudah harus menciptakan rasa persahabatan dengan alam, karena dengan diberikan Tuhan tempat dan daerah yang sudah baik, semestinya untuk dijaga dan dilestarikan. Termasuk Danau Toba dari persoalan limbah, eceng gondok dan sampah.
Terhadap budaya itu, Eddy juga menyayangkan ketika pemerintah lebih memperhatikan politik, Sedangkan terhadap budaya sendiri, mengapa harus ada masalah dulu baru ada tindakan.
“Saya ingat ketika diundang bernyanyi di Ulang Tahun Mantan Presiden Soeharto. Kata Pak Harto, Eddy, kok dari semua penyanyi hanya kamu saja yang banyak menyanyikan lagu daerah dan menjiwainya,” tutur Edy “Karena itulah budaya yang saya banggakan,” tambah Eddy menjawab pertanyaan Alm Presiden RI Ke II itu.
Dari kemampuan bernyanyi semua daerah itu, Eddy juga mengaku banyak panggilan bernyanyi untuk berbagai suku itu. Sehingga ia tidak hanya berhenti bernyanyi lagu Batak semata. “ni dampak positifnya kita bisa membaur bernyanyi untuk daerah mana saja intinya untuk memajukan budaya dan seni di Indonesia,” jelasnya. Ian/jef
Tidak ada komentar:
Posting Komentar